GKJ PGRN:
Gereja yang Berperan
Serius
dalam Menanam &
Menyemai Anak-anak Sekolah Minggu-nya
Sebuah Liputan Kesaksian
Pdt. Angrh.
Minggu 26 Januari 2014 pagi pukul
06.30 WIB, kami warga GKJ Tanti wilayah Kl dan beserta
pemuda-pemudi GKJ Tanti berkumpul bersama di rumah penatua majelis yaitu
Ibu Sri, untuk bersiap berangkat ke Smn, Gunungkidul mengendarai
bus wisata.
Meskipun bus tidak terlalu penuh
terisi penumpang, namun kami berangkat dengan sukacita. Rute perjalanan ke
Smn Gunungkidul yang semula akan mengambil jalur melewati Klaten berubah
menjadi rute melewati Jl. Raya Wonosari. Melewati jalan yang katanya akan penuh
dengan pemandangan yang indah. Di dalam perjalanan yang berliku dan naik-turun
sempat teman kami ada yang mabuk, dan pusing. Tapi untung ibu Arif begitu perhatian dengan membawa obat-obatan seperti antimo dan minyak kayu
putih. Juga ibu Arif dan ibu Podang begitu perhatian melayani, membagikan
makanan dan minuman kepada para penumpang.
Akhirnya sampailah kami ke tujuan,
yaitu GKJ Pgrn. Tampak kami lihat sebelum turun, ada sebuah gereja yang
elok, megah, bergaya arsitektur Eropa bertengger diatas perbukitan batu yang
kokoh. Tampak asri dan hijau. Kami pun turun dan harus berjalan menaik untuk
mencapai GKJ Pgrn.
Tak lama ibadahpun dimulai. Kami
memuji Tuhan, mendengarkan firman dan beramah tamah di gereja. Saya sempat
kagum kepada bapak pendeta. Beliau menyebutkan dalam doanya, diantaranya
“persembahan pujian”. Sangat menyentuh, karena warga GKJ Tanti yaitu dik
Shasa dan juga koor Gema Khalista juga mengisi persembahan pujian di GKJ
Pgrn.
Sampai kepada acara ramah-tamah, dari
GKJ Tanti wilayah Kalasan menyampaikan kata-kata sambutannya. Diantaranya
Bpk. Elisa sebagai penggagas acara, dan Ibu Sri sebagai majelis
wilayah. Dilanjutkan sambutan dari majelis GKJ Pgrn dan bapak Pdt. Angrh.
Dan tak lupa dari ibu Sri menyampaikan sesuatu dan oleh-oleh bingkisan kepada
GKJ Pgrn.
Selanjutnya acara dilanjutkan ramah-tamah
dan temu hangat di kediaman bapak Elisa semasa kecil. Dengan berjalan kaki,
kami semua masuk ke sebuah rumah bangunan joglo kayu bernuansa asli pedesaan.
Kami disuguhi, jajanan dan makanan tradisional diantaranya: gathot dan tiwul,
kacang rebus, pisang rebus, dan buah-buahan hasil tani. Kemudian disambung makan
siang dan cerita kesaksian oleh bapak Pdt. Angrh Tentang
seluk beluk pelayanannya di GKJ Pgrn.
Pdt. Angrh adalah sosok pendeta
yang masih muda dan bersemangat. Dari nada suaranya yang keras menggambarkan
bahwa pesan yang ingin disampaikan itu sungguh-sungguh ingin dibagikan untuk
semua orang. Sampai kami beberapa pemuda yang duduk di belakang pun sangat
jelas mendengar suara bapak pendeta Anugrah. Gaya bicara itu juga Nampak ketika
beliau menyampaikan Firman sewaktu di gereja. Beliau juga sosok pendeta yang
melayani di sebuah desa yang begitu jauh dari hiruk pikuk kota namun tetap
mempunyai dan membagikan wawasan dan cara pandang yang maju. Kehangatan dan
keramahtamahan beliau juga tercermin bagaimana, beliau menyambut jemaat tamu
dan semangatnya untuk membagikan kesaksian pelayanannya. Ditengah pelayanan
jemaat di GKJ Pgrn yang rata-rata berusia lanjut, namun pembawaanya tetap
muda, energik, dan lebih bebas namun sopan.
Sangatlah menarik kalau kami sebagai
orang kota, sesekali belajar ke desa. Untuk itu simak liputan, kontribusi
jurnalis SolaAgape yang sempat kami
rekam dari penuturan bapak Pdt Angrh berikut ini.
Pdt Angrh adalah seorang pendatang
di Smn Gunungkidul. Beliau berasal dari dari Sukoharjo. Bila dihitung
perjalanan maka ditempuh setengah jam dengan sepeda motor dari Smn menuju ke
daerah kelahirannya. “Saya ada disini sejak tahun 2003, masih bujang. Diboyong
di sini bulan November 2003 dan ditahbiskan Oktober 2004. Jadi ini tahun ke-10
saya melayani. Dalam kacamata saya di sini, gereja ini unik dan menarik sebagai
orang yang datang kemudian.”
Apa keunikan GKJ Pgrn?
1. Tuhan itu memakai anak-anak menjadi alat untuk menumbuhkan iman dan
menyampaikan keselamatan bagi umat di sini.
Kenapa anak-anak? Karena dari
sejarahnya, Kekristenan atau Injil muncul dan menarik perhatian masyarakat di
sini. Berawal dari peristiwa seorang anak bernama Mardi, anak Mbah Notodikromo. Seorang anak ini sakit ketika menggembalakan
ternak. Lalu sakit itu sampai tiga hari tidak tertolong (tidak sembuh) meskipun
sudah di bawa kemana-mana, dicarikan dukun ke mana-mana, tidak sembuh-sembuh. Sampai
pada suatu hari orang tuanya mendengar ada seorang dukun di daerah Wuryantoro Wonogiri
terkenal dengan nama Mbah Lurah Betek. Yang kemudian mengobati anak ini dan
menjadi sembuh.
Aturan Jawa yang mencengkeram lebih
kuat dibandingkan Hukum Taurat
Kesembuhan seorang anak ini lalu
menjadi titik tolak orang-orang di sini untuk mencari tahu. Apa sih yang bisa
membuat anak ini bisa menjadi sembuh? Lalu Mbah Lurah Betek ini bercerita, ”Kalau
orang seperti aku ini, tidak lagi dikuasai oleh ujar. Hidupnya tidak lagi dikuasai oleh ujar, dan menjadi orang yang merdeka”. Nah lalu pernyataan itu
menjadi menarik lagi. Kenapa? Karena menurut beliau orang Jawa itu selalu
dicengkeram, dengan lebih berat daripada angger-angger
Taurat.
Orang Jawa itu selalu dicengkeram,
dengan lebih berat daripada
Angger-angger Taurat.
Contohnya mau cari isteri, pergi ke utara
dan barat tidak boleh, satu, tiga tidak
boleh dan lain sebagainya, orang Jawa itu selalu dikuasai dan di cengkeram. Lalu
Mbah Lurah Betek mengatakan, “kalau menjadi seperti saya itu, akan terbebas
dari semua hal, menjadi orang yang merdeka dan bersyukur”. Karena itu menjadi
semakin menarik, ketika tertarik kemudian belajar apa itu kekristenan dari mbah
lurah Betek. Kemudian dihimpunlah kelas Katekisasi, istilah sekarang. Mengikuti
pelajaran agama, lalu dimulai tiga keluarga, bertambah banyak dan semakin bertambah
banyak. Bermula dari seorang anak lalu gereja ini bertumbuh. Itu sejarah Injil kemudian dikenal di sini.
Bermula dari seorang anak
lalu gereja ini bertumbuh.
Injil berkembang & bertumbuh melalui seorang anak-anak
Lalu bagaimana Injil bertumbuh
menjadi semakin besar. Juga melalui seorang anak. Karena ketika saya mencermati
peristiwa demi peristiwa, perjalanan dari perjalanan ke perjalanan. Ternyata
anak-anak dipakai Tuhan menjadi alat yang luar biasa! Saya banyak mendengar
kesaksian dari jemaat di sini, bahwa mereka itu mengenal Kristen semula anaknya
dulu. Jadi dulu sekolah minggu itu menjadi pertemuan yang sangat menarik bagi
anak-anak di sini. Dan dari situ kita bisa membayangkan. Bahwa dulu memang nggak ada
acara yang bagus-bagus, sinetron belum ada, tendangan si Madun belum tayang sehingga
acara sekolah minggu (SM) menjadi sangat menarik. Tidak hanya anak-anaknya
orang Kristen tetapi juga anak-anak yang lain ikut kegiatan sekolah minggu. Nah
ketika prosesnya berjalan, mereka ikut saja sampai kemudian mereka setelah sekolah
minggu, katekisasi, dan akhirnya sidhi, dan baptis. Setelah anak-anak menjadi
Kristen kemudian mengajak orang tuanya untuk menjadi Kristen. Nah, Injil
berkembang dan bertumbuh melalui seorang anak-anak. Selain memang ada
anak-anaknya orang Kristen yang semula belajar dari Mbah Lurah Betek tadi.
Anak-anak menjadi bertumbuh dan berkembang.
2. Alat musik pek-bung sebagai
alat pekabaran Injil.
Perkembangan Injil menjadi semakin
menarik karena ada alat yang unik ditempat ini. Namaknya Pek-bung. Pek-bung itu
suatu perangkat alat musik yang diciptakan oleh salah satu warga di sini
namanya pak Pranoto Siswoyo, yang menjadi majelis pertama di sini. menciptakan
rangkaian alat musik dari bambu, dua batang, dua bumbung, di dalamnya ada bambu
kecil untuk bas, ditiup-tiup, kemudian ada klenting yang diubah menjadi
gendang, seruling, lalu ada kentongan. Dan alat itu musik itu masih
dilestarikan sampai sekarang.
Jemaat tamu tadi memang tidak
disuguhkan. Tapi even-even besar seperti Natal atau apapun selalu ditampilkan
dan masih ada sampai sekarang. Hal itu menjadi menarik bagi masyarakat karena
pada waktu itu kesenian akhirnya itu menjadi sesuatu yang efektif untuk
menyampaikan pesan kepada masayarakat. Dan di sini terkenal juga dengan daerah ledhek. Di sebelah timur desa ada kebudayaan
ledhek. Memang masyarakat disini akrab dengan kegiatan-kegiatan seni, yang
kemudian menjadi suatu alat kesaksian yang menarik bagi masyarakat, yang selalu
ditampilkan.
Awal mula namanya pek-bung begitu karena suaranya memang pek dan bung. Sekarang terkenal dengan nama ben kesot. Karena memang
permainannya dengan duduk atau kesot. Dengan
itu menjadikan pertumbuhan pekabaran Injil menjadi semakin berkembang, dan
anak-anak kembali mendapatkan peran yang istimewa dari Tuhan.
3. Keunikan masyarakat desa pegunungan
Keunikan berikutnya bagi jemaat di sini
adalah, ketika kami ada di tengah-tengah masyarakat desa pegunungan yang secara
geografis tidak menjanjikan untuk masa depan kehidupan. Maka banyak orang
meninggalkan tempat ini, pak Soetiyanto salah satunya. Dia lihat tidak ada
harapan di sini, kemudian merantau ikut orang dan seterusnya seperti itu
tipikalnya. Sekolah SD lalu ikut orang,
ngenger, ikut orang lain, disekolahkan lalu bekerja, dst.
Jadi situasi sosial, urbanisasi, itu
menjadi konteks sosial kami, sehingga rata-rata yang ditempat kami sudah sangat
sepuh. Yang potensial yang masih
kuat, masih roso banyak yang
merantau. Jadi dari kecilm ikut SM, lalu kemudian sudah SMA sidhi, lalu mereka
pergi. Jadi majelis di Kalasan jadi majelis di Jakarta, jadi majelis dimana
gitu, mengajar SM di sana. Demikian yang terjadi fenomenanya. Mereka mengenal
Injil di sini dipelihara, kemudian mereka berbuah di tempat lain. Dan buat saya
itu unik.
Kadang-kadang ketika awal mula
pelayanan saya sering kali mucul dalam saya, “sesuk gerejane soyo kebak opo soyo entek”. Pikiran saya waktu itu
begitu. Kenapa? Karena yang tinggal ya hanya orang-orang tua, nanti kalau sudah
pensiun pulang, dan sudah tua. Dan ketika potensial mereka ada di tempat lain. sempat berpikir
seperti itu bahwa “gereja ini akan makin penuh atau makin kosong?”. Pergumulan
saya pada waktu di awal-awal pelayanan saya. Karena melihat gedung gerejanya
sebesar itu jemaatnya hanya di tengah itupun sudah sepuh-sepuh. Dahulu sebelum ada sekolah minggu, gedung SM di belakang.
SM jamnya berbeda, lalu kemudian di sebelahnya anak-anak sedang bermain bola
ketika bapak-ibunya kebaktian. Karena saking luasnya gedungnya. Jemaat di induk
ini berjumlah XX6 orang, terdiri X1 anak-anak, dan sisanya orang-orang dewasa.
Jumlah seluruhnya untuk GKJ Pgrn adalah XX5 orang dengan pepantahan. Gereja
kami memiliki satu induk dan lima pepantahan, XX5 orang seluruhnya (yang
tercatat). Yang tinggal kira-kira separuh, yang separuh ada di perantauan.
Namun ketika kami bergumul dengan kondisi
sesuatu yang seperti itu ada suatu pernyataan yg sangat menarik lalu tertanam
di hati saya. Kemudian saya mengajak untuk dihayati oleh semua orang di sini
bahwa ternyata menurut kami itulah peran yang Tuhan minta untuk kami. Peran yang
Tuhan berikan adalah menanamkan benih iman dan menyemainya.
“Peran yang Tuhan berikan adalah
menanamkan benih iman dan menyemainya”.
Ketika saatnya mereka harus pindah tempat, pindah
ketempat lain bertumbuh dan berbuah, itu merupakan urusan Tuhan. Jadi kami
menghayati di sini bahwa kami adalah gereja penyemaian. Itu peran istimewa yang
diberikan Tuhan kepada kami. Sehingga kami harus menaman benih dan menyemainya
sampai saatnya nanti mereka siap, misalnya harus pindah tempat. Dan biarkan
mereka bertumbuh di sana, berbuah di sana, terserah buahnya yang merasakan
orang lain. Ya itu karya Tuhan, tidak perlu khawatir kepada kami. Jadi itu peran yang begitu istimewa. Nah
keunikan ini mulai bertumbuh dari anak-anak berkembang juga melalui anak-anak.
Dan sekarang peran istimewa yang Tuhan berikan melalui anak-anak itu, yang
kemudian membuat kami harus fokus dan serius. Anak-anak harus dikelola dengan
memberikan perhatian yang ekstra. Oleh karena itu SM di sini tidak hanya
dilakukan hanya hari minggu saja. Tapi tiga kali dalam seminggu. Pada hari
Kamis, Sabtu, dan Minggu. Kami mengelola anak-anak tiga kali dalam seminggu
dengan harapan, benihnya ditanam dengan sangat baik, disemai dengan sangat baik, dan saatnya
bertumbuh, mereka akan bertumbuh menjadi tumbuhan yang kuat, kokoh dan berbuah
lebat.
Nah oleh karena itu kami memberikan,
dan berjuang untuk menyediakan fasilitas pelayanan SM yang sangat baik. Oleh karena
itu kami memimpikan gedung sekolah
minggu yang dibelakang. Itu belum lama kami miliki Pada saat kami memimpikan
kami belum punya apa-apa, hanya berdoa, “Tuhan kami ingin punya gedung SM
supaya anak-anak tidak lagi terggangu
juga dengan kegiatan orang tua. Supaya anak-anak seringkali tidak terusir dengan
kegiatan-kegiatan orang tua”. “Bukankah yang sering terjadi seperti itu tho?” “Kalau
kegiatannya bersmaan maka anak-anaknya di suruh minggir. Ini mau dipakai sama
bapak-bapak dan ibu-ibu. Guru SM lalu merasakan sakit hati.
Nah oleh karena itu memang kami
berdoa kepada Tuhan suatu saat kami ingin tempat untuk SM yang lalu kemudian
tidak menimbulkan gangguan untuk semua orang. Lalu kemudian kami berdoa. Dan suatu
saat ada mahasiswa dari Universitas Kristen Maranatha datang ke sini dan ingin
tinggal di sini selama seminggu. Kemudian kami terima dan kami sambut dengan
sukacita dan kemudian mereka belajar menanam mereka belajar bertani selama
seminggu, mengenal apa yang dilakukan para petani. Nah ketika mereka pulang
mereka bertanya, ”Pak kami ingin berbuat sesuatu apa, yang bias kami lakukan?”.
Lalu saya bilang saya ingin punya gedung SM. Lalu kemudian mereka memberikan
sejumlah uang yang menurut kami jauh dari cukup, waktu itu kami diberi uang sepuluh
juta. Lalu saya bilang, “Kita mulai sekarang!”. Banyak orang bingung 10 juta
mau buat apa? Lalu kemudian setelah dimulai, kita mulai sekarang dengan uang 10
juta. 10 juta itu yang 9,5 jt berikan kepada saya. Yang 500 nggak tau nanti mau
buat apa?
Tapi kami mulai. Nah, ketika sedang
mulai berjalan lalu kemudian jemaat mulai terlibat. Memberi peran serta
pertisipasi lalu kemudian bisa berdiri bangunan yang belum sempurna. Kemudian
setelah itu, ketemu dengan orang yang mengatakan gereja mana yang lagi membangun?
Lalu kemudian saya katakan, kami tidak sedang membangun gereja tapi apa yang
kami lakukan itu dibutuhkan oleh gereja. Terutama gereja-gereja di kota. Karena
kami sedang ingin mempunyai tempat untuk mengelola anak-anak SM dengan sangat
serius.
Kemudian mereka mau terlibat luar
biasa bahkan bukan hanya gedungnya, kami sekarang punya perpustakaan untuk
anak-anak. Kami punya perlengkapan multimedia yang sangat bagus menurut kami
sangat bagus. Kami punya perlengkapan sound system yang lebih bagus dari yang
dimiliki oleh orang-orang dewasa di tempat ini. Nah kalau tadi diberi oleh-oleh,
kayaknya sih buku, walaupun masih dibungkus tapi kayaknya sih buku. Itu menjadi
sangat berharga buat kami. Karena dengan
perpustakaan yang sudah kami miliki ditambah lagi, itu akan membuat minat baca
anak-anak bertambah. Sekarang ini perpustakaannya bergulir menjadi lumayan
bagus. Kami ikut lomba perpustakaan se-kabupaten Gunung Kidul dan mendapatkan juara
tiga. Itu menjadi sesuatu yang kami perhatikan dengan sangat serius karena
peran kami sebagai gereja yang memang dikehendaki Tuhan. dari perjalanan itu,
kami lalu mendapat kesimpulan bahwa gereja ini memang dikehendaki Tuhan untuk menanamkan
benih dan menyemai.
Kisah pembangunan gedung GKJ Pgrn
Tentang gedung GKJ Pugeran yang ada di
depan, Pdt. Angrh menuturkan bahwa saat ia datang di sana, besarnya sudah seperti
itu. “Saya hanya mendengar cerita saja, bahwa dahulu gedung gereja tersebut terbuat
dari gedeg (anyaman bambu) yang
atapnya bocor. Kemudian jemaat ingin membangunnya dan dibuatlah proposal dengan
anggaran Rp 29 juta. Dan salah satu proposal itu dikirimkan kepada Bapak Prawiro.” “Lalu kesaksian yang saya dengar yaitu, “Berapa jumlah jemaatnya?”.
Jawab: “X00 orang.” “Kalau begitu buat bangunan yang cukup untuk menampung X00 orang.”
Permintaan proposal yaitu Rp 29 juta, namun yang diberikan Rp X00 juta. Tetapi
dengan tuntutan yang Rp X00 juta harus berasal dari jemaat, karena gambarnya saja
nilainya Rp X00 juta!”
Nah, warga pun bingung, “Ini Rp X00 juta
dari mana bisa didapatkan kalau kami semua bermata pencaharian sebagai petani?”
Kemudian mereka menilai ongkos Rp X00 juta itu untuk ongkos pengerjaannya. Warga
mengerjakan pembangunan dengan kerjabakti selama 2 tahun. Dua tahun dikerjakan,
para ibu memasak untuk mengirim makanan ke gereja, dan para bapak mengerjakan
selama 2 tahun. Dan kita anggap itu Rp X00 juta.
Demikianlah hal-hal besar yang terjadi
di tempat ini. Dari kacamata saya sebagai seorang Pendeta yang datang kemudian.
Ada banyak karya Allah yang megah. Jadi kalau seringkali ada orang yang datang dan
mengatakan “Wah gedungnya megah ya?” Itu bukan kemegahan kami, itu adalah
kemegahan karya Tuhan, pekerjaan Tuhan yang membuat semua itu bisa terjadi.
Karena kami tidak pernah membayangkan memiliki gedung seperti itu. Yang kami bayangkan
Rp 29 juta. Yang datang Rp X00 juta. Yang dibayangkan hanya kesembuhan seorang
anak bernama Mardi, tetapi ternyata mendatangkan keselamatan bagi banyak orang.
Itulah yang membuat saya secara pribadi belajar iman dari jemaat ini. Ketika
saya datang, saya bertanya, “Apa yang menjadi penghidupan jemaat di sini?”
Ketika saya mendengar ceritanya lalu saya bertanya, “Bagaimana mereka bias
hidup?” Karena dalam perhitungan matematika saya nggak masuk akal. Dengan
pertanian yang mereka kerjakan dan kehiduan yang harus mereka jalani dengan
kebutuhan di zaman ini, nggak masuk akal.
Lalu pertanyaan saya mengapa mereka bisa
hidup? Dan sampai sekarang? Saya belajar beriman dari mereka, saya belajar ilmu
teologi di kampus tapi saya belajar beriman di tempat ini. Bagaimana jemaat ini
terus menjalani kehidupannya dan bertumbuh dengan segala kebutuhan yang harus dilakukan. Gedung gereja ini adalah gedung
gereja paling besar se-Gunung Kidul. Dan itu tidak pernah dibayangkan oleh
jemaat ini. SM kami gedungnya paling megah, paling lengkap, paling mewah, se-Gunung
Kidul. Hal itu tidak pernah kami bayangkan. Itu adalah kemegahan karya Tuhan.
Dari situlah kami belajar beriman, kami belajar bagaimana kasih Allah itu
memelihara. Dan itu yang membuat kami tidak perlu lagi khawatir ketika melihat
keadaan orang-orang tua.
Ketika anak-anak mereka di sini, kemudian
setelah dewasa pergi. Karena ketika mereka pergi ternyata mereka berbuah
ditempat lain,namun mereka juga tidak melupakan. Ada paguyuban Diaspora yang
terbentuk dari komunitas orang-orang perantauan di tempat ini. Setiap 5 tahun
sekali mereka pulang bersama-sama untuk merayakan Natal bersama jemaat. Di tempat-tempat
mereka merantau ada persekutuan yang dibangun. Kalau saya pengen seperti temen-teman
dari gereja Kharismatik mungkin disana sudah saya dirikan pepanthan di Jakarta.
Karena jumlahnya lebih dari pepanthan. Layak kemudian untuk disebut pepantan.
Di tempat lain juga nah tetapi mereka tetap bersekutu, mereka. Dan itu sungguh
membuat saya sebagai pendatang, orang yang baru kemudian hari dating, kagum.
Dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka tetap ada namanya di Jakarta Perdaksen
Persekutuan pemuda Kristen Smn Ngawen. Mereka bersekutu mereka terus PAnya
mereka kerjakan terus menjadi jemaat GKJ Nehemia menjadi jemaat GKI mana. Tapi
mereka PA jemaat Pgrn di tempat-tempat perantauan. Mereka pulang setiap
kali. Kalau panjenengan tadi lihat alat musik band yang begitu lengkap. Yaitu
salah satu buah dari apa yang mereka kerjakan. Mereka pulang dan mereka berbuat
sesuatu untuk jemaat di sisni jadi kami tidak merasa sia-sia ketika kami harus
menanam benih dan kemudian menyemainya. Suatu saat mereka bisa berbuah bagi
orang lain dan saatnya nanti mereka pasti ingat kok sama kita.
Paling tidak seperti apa yang
dilakukan pak Elisa hari ini. Mereka bawa teman-temannya pulang untuk melihat.
Itu adalah buah yang tidak pernah terpikirkan. Karena yang biasanya buah itu
yang menikmati orang lain kan?! Namanya buah pisang itu yang menikmati saya dan
penjenangan kan?! Pohon pisanngya kan nggak makan? betul nggak?! Tapi meskipun
nggak makan mereka dipelihara sama yang makan. Itulah yang kemudian kami
pikirkan meskipun mereka nanti berbuahnya di sana. Ada yang menjadi guru SM di suatu
GKJ dimana? menjadi majelisnya dimana?
Pasti mereka akan juga pasti mereka akan berbuat sesuatu untuk kita. Itu
yang menurut saya membuat kehiduapan ini menjadi seimbang dan itu yang membuat
kita manjadi nyaman. Ketika kita menghayati kehidupan ini nggak seimbang kok
kita memberi terus mengirim orang terus ke kota. Kapan kita dapatnya itu kita
merasa nggak seimbang nanti nggak damai sejahtera dan nggak bahagia tapi ketika
kita menganggap hidup ini seimbang kok saatnya kita member nanti, saatnya kita
juga akan meneria mungkin bentuknya nggak sama tetapi. Itulah keseimbangan yang
Tuhan nyatakan kepada kita sehingga prinsip yang baik menurut saya adalah:
·
bekerja
yang keras,
·
berpelayanan
yang keras,
·
berpersembahan
yang banyak,
· hasilnya
nanti adalah urusan Tuhan.
Itu yang saya sampaikan kepada jemaat.
Berpelayanan yang keras, berpelayanan
yang bersungguh-sungguh, bekerja dengan sungguh-sungguh, persembahan yang
sungguh-sungguh. Hidup kita itu urusan Tuhan. Nah itu yang harus dipikirkan
juga. Menurut saya. Pokoknya menyemai dengan sungguh-sungguh. Membuat dia
imannya bertumbuh dengan sungguh-sungguh buahnya nah itu nanti urusan Tuhan.
Kita terima buah seperti apa dan pasti Tuhan lebih bijak untuk memberikannya.
Nah itu situasi gambaran yang bisa saya sampaikan. Kalau telalu lama nanti saya kalah pamor sama nasi. Meskipun
kelihatan mangguk-mangguk tapi sesekali melirik. Yaitu kira-kira apakah mungkin
ada pertanyaan? Saya buka saja. Satu termin saja semoga nggak lama dan kalah
pamor dengan makanan. Mari kalau ada yang mau bertanya memperjelas apa yang
saya sampaikan dengan GKJ Pgrn.
Berikut sebuah pertanyakan oleh
seorang guru SM bernama Nopi. “Saya mau tanya tentang kegiatan SM di sini? Tadi
dikatakan seminggu itu ada kegiatan selama 3 kali. Apakah bias dijelaskan kegiatannya
apa saja? Biar nanti bisa kami tiru.
Lalu Pdt. Angrh menjawab, “pada
hari Kamis malam pukul setengah tujuh diadakan acara sepeti PA orang dewasa
dengan berpindah-pindah tempat. Lalu kemudian hari Sabtu itu kami sebut sebagai
Sanggar, kami bekerjasama dengan
Yayasan Gloria. Untuk kemudian mengelola SM di hari Sabtu ini secara bersama-sama.
Nah dari kegiatan SM ini kami berharap dapat mengarah kepada sisi sosial mereka.
Mengunjungi temannya, kemudian berbagi
dengan teman-temannya. Hal itu menyentuh sisi social, supaya mereka dalam
kegiatan sosial bertumbuh. Kegiatan hari Sabtu itu lebih kepada karakter. Jadi
dengan kegiatan-kegiatan yang tidak baca Alkitab, mengajak anak-anak kemudian
membangun karakter mandiri.
Tujuannya supaya karakter Kristen itu
tertanam dalam mereka dan tidak perlu
dengan membaca ALkitab. Hari Sabtu ini membuat orang yang tidak Kristen, anak-anak
nya tidak Kristen, satu atau dua orang ada yang terlibat. Ketika mereka tahu
bahwa kegiatannya tidak membaca Alkitab maka mereka mau masuk. Meskipun tidak
membaca Alkitab, tetapi karakter yang mau ditanamkan adalah karakter Kristus.
Kemudian pada hari Minggu lebih pada
penyampaian Firman. Hal ini lebih menyentuh pada sisi iman spiritual. Karakternya
mau dibangun dan sisi sosialnya dibangun, dan sisi spiritualnya pun juga
dibangun, sehingga anak-anak nanti diharapkan berpijak pada tiga kaki itu
dengan baik.
Sementara Indra wakil dari Komisi Pemuda
GKJ Tanti melontarkan pertanyaan mengenai kehidupan pemuda dalam bergereja.
Apakah teman-teman pemuda di GKJ Pgrn eperti anak-anak yang memiliki program
3 kali dalam satu minggu juga ataun atau bagmana?
Pdt. Angrh pun menjawab, “pemuda
kondisinya sedang ada dalam pergumulan.
Pergumulan yang sangat serius. Mengapa? karena sisi kontekstual kami adalah daerah
perbatasan yang sangat berpengaruh. GKJ Pgrn berbatasan dengan Wonogiri.
Kami berbartasan dengan Sukoharjo, berbatasan dengan Klaten. Berada di pojok utara
dengan konteks sosial yang seperti ini menjadi sangat istimewa bagi kami, karena pengaruh itu menjadi sangat kuat.
Pada masanya dulu gereja ini pernah
merasakan peran pemuda yang sangat luar biasa pendewasaan ini gereja ini adalah
buah dari pelayanan pemuda. Pada sekitar
tahun 1980-an di sini peran pemuda menjadi sangat luar biasa. Orang-orang yang
sekarang menjadi majelis seperti pak Heri itu adalah seorang pemuda pada
zamannya dan berpelayanan berjemaat di gereja ini. Tidak pernah membayangkan
kalau kemudian pemuda itu juga berperan sangat istimewa sehingga peran pemuda
menjadi sangat sentral, tetapi memang saat ini kami sedang bergumul dengan
kondisi pemuda dengan konteks sosial yang seperti itu dan zaman yang semakin
maju dan modern seringkali membuat pemuda-pemuda ini menjadi bergumul dengan
sangat karena kegiatan yang sekarang ada, sangat standard.
Berbeda dengan sekolah minggu,
kegiatan pemuda sangat sederhana. Bible atau PA tiap malam minggu, persekutuan
gabungan tiap bulan sekali lalu kemudian kebaktian remaja jam 7 pagi, itu yang
rutin selain itu ada kegiatan-kegiatan yang monumental seperti Natal. Kemudian
siap dengan Natal, Paskah, namun belum ada sesuatu yang membuat kami merasa
istimewa. Situasinya memang seperti itu, tapi memang saya maklumi. Pemuda yang
sungguh-sungguh tidak ada. Yang ada adalah remaja SMA ke bawah yang emosinya sedang
bergumul dengan masa pubernya, konteks sosialnya, nah yang benar-benar pemuda
nggak ada. Jika ditanya pemudanya ada berapa pak? Nggak ada! Yang ada remaja.
Karena seperti yang saya katakana, yang lulus SMA mereka lalu pergi. Di sana
ditampung bersama saudara-saudaranya kemudian mereka bertumbuh.
Menutup termin tanya jawab, Pdt.
Angrh mengajukan pertanyaan, “Masih ada pertanyaan? Saya yakin masih satu,
tapi nggak diungkapkan. Ini makan siangnya jam berapa?” “geerrrr” diikuti tawa
kami semua. “Kalau tidak ada, saya rasa cukup dan terima kasih. Demikianlah
yang bisa kami bagikan, mudah-mudahan bisa bermanfaat dan menjadi inspirasi
buat teman-teman. Dan kami pun bersyukur Karena ini membuat kami merasa bahwa
banyak teman dan banyak saudara. Kira-kira
itu yang dapat saya sampaikan mohon maaf kalau banyak kata yang tidak berkenan
dan monggo acara selanjutnya saya
serahkan. (Kl, 2 Februari 2014-red)